This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Saturday, July 23, 2011

Abu Nawas : Membalas Perbuatan Raja

Abu Nawas hanya tertunduk sedih mendengarkan penuturan istrinya. Tadi pagi beberapa pekerja kerajaan atas titan langsung Baginda Raja membongkar rumah dan terus menggali tanpa bisa dicegah. Kata mereka tadi malam Baginda bermimpi bahwa di bawah rumah Abu Nawas terpendam emas dan permata yang tak ternilai harganya. Tetapi setelah mereka terus menggali ternyata emas dan permata itu tidak ditemukan. Dan Baginda juga tidak meminta maaf kepada Abu Nawas. Apabila mengganti kerugian. inilah yang membuat Abu Nawas memendam dendam. Lama Abu Nawas memeras otak, namun belum juga ia menemukan muslihat untuk membalas Baginda. Makanan yang dihidangkan oleh istrinya tidak dimakan karena nafsu makannya lenyap. Malam pun tiba, namun Abu Nawas tetap tidak beranjak. 

Keesokan hari Abu Nawas melihat lalat-lalat mulai menyerbu makanan Abu Nawas yang sudah basi. la tiba-tiba tertawa riang.“Tolong ambilkan kain penutup untuk makananku dan sebatang besi.” Abu Nawas berkata kepada istrinya. “Untuk apa?” tanya istrinya heran. “Membalas Baginda Raja.” kata Abu Nawas singkat. Dengan muka berseri-seri Abu Nawas berangkat menuju istana. Setiba di istana Abu Nawas membungkuk hormat dan berkata,“Ampun Tuanku, hamba menghadap Tuanku Baginda hanya untuk mengadukan perlakuan tamu-tamu yang tidak diundang. Mereka memasuki rumah hamba tanpa ijin dari hamba dan berani memakan makanan hamba.” 
“Siapakah tamu-tamu yang tidak diundang itu wahai Abu Nawas?” sergap Baginda kasar.“Lalat-lalat ini, Tuanku.” kata Abu Nawas sambil membuka penutup piringnya.“Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Baginda junjungan hamba, hamba me-ngadukan perlakuan yang tidak adil ini.”
“Lalu keadilan yang bagaimana yang engkau inginkan dariku?”
“Hamba hanya menginginkan ijin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba bisa dengan leluasa menghukum lalat-lalat itu.” Baginda Raja tidak bisa mengelakkan diri menotak permintaan Abu Nawas karena pada saat itu para menteri sedang berkumpul di istana. Maka dengan terpaksa Baginda membuat surat ijin yang isinya memperkenankan Abu Nawas memukul lalat-lalat itu di manapun mereka hinggap.

Tanpa menunggu perintah Abu Nawas mulai mengusir lalat-lalat di piringnya hingga mereka terbang dan hinggap di sana sini. Dengan tongkat besi yang sudah sejak tadi dibawanya dari rumah, Abu Nawas mulai mengejar dan  memukuli lalat-lalat itu. Ada yang hinggap di kaca. Abu Nawas dengan leluasa memukul kaca itu hingga hancur, kemudian vas bunga yang indah, kemudian giliran patung hias sehingga sebagian dari istana dan perabotannya remuk diterjang tongkat besi Abu Nawas. Bahkan Abu Nawas tidak merasa malu memukul lalat yang kebetulan hinggap di tempayan Baginda Raja. Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruan yang telah dilakukan terhadap Abu Nawas dan keluarganya. Dan setelah merasa puas, Abu Nawas mohon diri. Barang-barang kesayangan Baginda banyak yang hancur. Bukan hanya itu saja, Baginda juga menanggung rasa malu. Kini ia sadar betapa kelirunya berbuat semena-mena kepada Abu Nawas. Abu Nawas yang nampak lucu dan sering m enyenangkan orang itu ternyata bisa berubah menjadi garang dan ganas serta mampu membalas dendam terhadap orang yang mengusiknya. Abu Nawas pulang dengan perasaan lega. Istrinya pasti sedang menunggu di rumah untuk mendengarkan cerita apa yang dibawa dari istana.

Abu Nawas : Mengecoh Raja

Sejak peristiwa penghancuran barang-barang di istana oleh Abu Nawas yang dilegalisir oleh Baginda, sejak saat itu pula Baginda ingin menangkap Abu Nawas untuk dijebloskan ke penjara.
Sudah menjadi hukum bagi siapa saja yang tidak sanggup melaksanakan titah Baginda, maka tak disangsikan lagi ia akan mendapat hukuman. Baginda tahu
Abu Nawas amat takut kepada beruang. Suatu hari Baginda memerintahkan prajuritnya menjemput Abu Nawas agar bergabung dengan rombongan Baginda Raja Harun Al Rasyid berburu beruang. Abu Nawas merasa takut dan gemetar tetapi ia tidak berani menolak perintah Baginda.
Dalam perjalanan menuju ke hutan, tiba-tiba cuaca yang cerah berubah menjadi mendung. Baginda memanggil Abu Nawas. Dengan penuh rasa hormat Abu Nawas mendekati Baginda.
"Tahukah mengapa engkau aku panggil?" tanya Baginda tanpa sedikit pun senyum di wajahnya.
"Ampun Tuanku, hamba belum tahu." kata Abu Nawas.
"Kau pasti tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Hutan masih jauh dari sini. Kau kuberi kuda yang lamban. Sedangkan aku dan pengawal-pengawalku akan menunggang kuda yang cepat. Nanti pada waktu santap siang kita berkumpul di tempat peristirahatanku. Bila hujan turun kita harus menghindarinya dengan cara kita masing-masing agar pakaian kita tetap kering. Sekarang kita berpencar." Baginda menjelaskan.
Kemudian Baginda dan rombongan mulai bergerak. Abu Nawas kini tahu Baginda akan menjebaknya. la harus mancari akal. Dan ketika Abu Nawas sedang berpikir, tiba-tiba hujan turun.
Begitu hujan turun Baginda dan rombongan segera memacu kuda untuk mencapai tempat perlindungan yang terdekat. Tetapi karena derasnya hujan, Baginda dan para pengawalnya basah kuyup. Ketika santap siang tiba Baginda segera menuju tempat peristirahatan. Belum sempat baju Baginda dan para pengawalnya kering, Abu Nawas datang dengan menunggang kuda yang lamban. Baginda dan para pengawal terperangah karena baju Abu Nawas tidak basah. Padahal dengan kuda yang paling cepat pun tidak bisa mencapai tempat berlindung yang paling dekat.
Pada hari kedua Abu Nawas diberi kuda yang cepat yang kemarin ditunggangi Baginda Raja. Kini Baginda dan para pengawal-pengawalnya mengendarai kudakuda yang lamban. Setelah Abu Nawas dan rombongan kerajaan berpencar, hujan pun turun seperti kemarin. Malah hujan hari ini lebih deras daripada kemarin. Baginda dan pengawalnya langsung basah kuyup karena kuda yang ditunggangi tidak bisa berlari dengan kencang.
Ketika saat bersantap siang tiba, Abu Nawas tiba di tempat peristirahatan lebih dahulu dari Baginda dan pengawalnya. Abu Nawas menunggu Baginda Raja. Selang beberapa saat Baginda dan para pengawalnya tiba dengan pakaian yang basah kuyup. Melihat Abu Nawas dengan pakaian yang tetap kering Baginda jadi penasaran. Beliau tidak sanggup lagi menahan keingintahuan yang selama ini disembunyikan.
"Terus terang begaimana caranya menghindari hujan, wahai Abu Nawas." tanya Baginda.
"Mudah Tuanku yang mulia." kata Abu Nawas sambil tersenyum.
"Sedangkan aku dengan kuda yang cepat tidak sanggup mencapai tempat berteduh terdekat, apalagi dengan kuda yang lamban ini." kata Baginda.
"Hamba sebenarnya tidak melarikan diri dari hujan.Tetapi begitu hujan turun hamba secepat mungkin melepas pakaian hamba dan segera melipatnya, lalu mendudukinya. Ini hamba lakukan sampai hujan berhenti." Diam-diam Baginda Raja mengakui kecerdikan Abu Nawas.

Abu Nawas : Debat Kusir Tentang Ayam

Melihat ayam betinanya bertelur, Baginda tersenyum. Beliau memanggil pengawal agar mengumumkan kepada rakyat bahwa kerajaan mengadakan sayembara untuk umum. Sayembara itu berupa pertanyaan yang mudah tetapi memerlukan jawaban yang tepat dan masuk akal. Barangsiapa yang bisa menjawab pertanyaan itu akan mendapat imbalan yang amat menggiurkan. Satu pundi penuh uang emas. Tetapi bila tidak bisa menjawab maka hukuman yang menjadi akibatnya.
Banyak rakyat yang ingin mengikuti sayembara itu terutama orang-orang miskin. Beberapa dari mereka sampai meneteskan air liur. Mengingat beratnya hukuman yang akan dijatuhkan maka tak mengherankan bila pesertanya hanya empat orang. Dan salah satu dari para peserta yang amat sedikit itu adalah Abu Nawas.
Aturan main sayembara itu ada dua. Pertama, jawaban harus masuk akal. Kedua, peserta harus mampu menjawab sanggahan dari Baginda sendiri.
Pada hari yang telah ditetapkan para peserta sudah siap di depan panggung. Baginda duduk di atas panggung. Beliau memanggil peserta pertama. Peserta pertama maju dengan tubuh gemetar. Baginda bertanya,
"Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?" "Telur." jawab peserta pertama.
"Apa alasannya?" tanya Baginda.
"Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur." kata peserta pertama menjelaskan.
"Kalau begitu siapa yang mengerami telur itu?" sanggah Baginda. .
Peserta pertama pucat pasi. Wajahnya mendadak berubah putih seperti kertas. la tidak bisa menjawab. Tanpa ampun ia dimasukkan ke dalam penjara
Kemudian peserta kedua maju. la berkata,
"Paduka yang mulia, sebenarnya telur dan ayam tercipta dalam waktu yang bersamaan."
"Bagaimana bisa bersamaan?" tanya Baginda.
"Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur. Bila teiur lebih dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa menetas tanpa dierami." kata peserta kedua dengan mantap.
"Bukankah ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?" sanggah Baginda memojokkan. Peserta kedua bjngung. la pun dijebloskan ke dalam penjara.
Lalu giliran peserta ketiga. la berkata;
"Tuanku yang mulia, sebenarnya ayam tercipta lebih dahulu daripada telur."
"Sebutkan alasanmu." kata Baginda.
"Menurut hamba, yang pertama tercipta adalah ayam betina." kata peserta ketiga meyakinkan.
"Lalu bagaimana ayam betina bisa beranak-pinak seperti sekarang. Sedangkan ayam jantan tidak ada." kata Baginda memancing.
"Ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan. Telur dierami sendiri. Lalu menetas dan menurunkan anak ayam jantan. Kemudian menjadi ayam jantan dewasa dan mengawini induknya sendiri." peserta ketiga berusaha menjelaskan.

"Bagaimana bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah dewasa sempat mengawininya?"
Peserta ketiga pun tidak bisa menjawab sanggahan Baginda. la pun dimasukkan ke penjara.
Kini tiba giliran Abu Nawas. la berkata, "Yang pasti adalah telur dulu, baru ayam."
"Coba terangkan secara logis." kata Baginda ingin tahu "Ayam bisa mengenal telur, sebaliknya telur tidak mengenal ayam." kata Abu Nawas singkat.
Agak lama Baginda Raja merenung. Kali ini Baginda tidak nyanggah alasan Abu Nawas.

Abu Nawas : Mengecoh Monyet

Abu Nawas sedang berjalan-jalan santai. Ada kerumunan masa. Abu Nawas bertanya kepada seorang kawan yang kebetulan berjumpa di tengah jalan.
"Ada kerumunan apa di sana?" tanya Abu Nawas.
"Pertunjukkan keliling yang melibatkan monyet ajaib."
"Apa maksudmu dengan monyet ajaib?" kata Abu Nawas ingin tahu.
"Monyet yang bisa mengerti bahasa manusia, dan yang lebih menakjubkan adalah monyet itu hanya mau tunduk kepada pemiliknya saja." kata kawan Abu Nawas menambahkan.
Abu Nawas makin tertarik. la tidak tahan untuk menyaksikan kecerdikan dan keajaiban binatang raksasa itu.
Kini Abu Nawas sudah berada di tengah kerumunan para penonton. Karena begitu banyak penonton yang menyaksikan pertunjukkan itu, sang pemilik monyet dengan bangga menawarkan hadiah yang cukup besar bagi siapa saja yang sanggup membuat monyet itu mengangguk-angguk.
Tidak heran bila banyak diantara para penonton mencoba maju satu persatu. Mereka berupaya dengan beragam cara untuk membuat monyet itu mengangguk-angguk, tetapi sia-sia. Monyet itu tetap menggeleng-gelengkan kepala.
Melihat kegigihan monyet itu Abu Nawas semakin penasaran. Hingga ia maju untuk mencoba. Setelah berhadapan dengan binatangitu Abu Nawas bertanya,
"Tahukah engkau siapa aku?" Monyet itu menggeleng.
"Apakah engkau tidak takut kepadaku?" tanya Abu Nawas lagi. Namun monyet itu tetap menggeleng.
"Apakah engkau takut kepada tuanmu?" tanya Abu Nawas memancing. Monyet itu mulai ragu.
"Bila engkau tetap diam maka akan aku laporkan kepada tuanmu." lanjut Abu Nawas mulai mengancam. Akhirnya monyet itu terpaksa mengangguk-angguk.
Atas keberhasilan Abu Nawas membuat monyet itu mengangguk-angguk maka ia mendapat hadiah berupa uang yang banyak. Bukan main marah pemilik monyet itu hingga ia memukuli binatang yang malang itu. Pemilik monyet itu malu bukan kepalang. Hari berikutnya ia ingin menebus kekalahannya. Kali ini ia melatih monyetnya mengangguk-angguk.
Bahkan ia mengancam akan menghukum berat monyetnya bila sampai bisa dipancing penonton mengangguk-angguk terutama oleh Abu Nawas. Tak peduli apapun pertanyaan yang diajukan.
Saat-saat yang dinantikan tiba. Kini para penonton yang ingin mencoba, harus sanggup membuat monyet itu menggeleng-gelengkan kepala. Maka seperti hari sebelumnya, banyak para penonton tidak sanggup memaksa monyet itu menggeleng-gelengkan kepala. Setelah tidak ada lagi yang ingin mencobanya, Abu Nawas maju. la mengulang pertanyaan yang sama.
"Tahukah engkau siapa daku?" Monyet itu mengangguk.
"Apakah engkau tidak takut kepadaku?" Monyet itu tetap mengangguk.
"Apakah engkau tidak takut kepada tuanmu?" pancing Abu Nawas. Monyet itu tetap mengangguk karena binatang itu lebih takut terhadap ancaman tuannya daripada Abu Nawas.
Akhirnya Abu Nawas mengeluarkan bungkusan kecil berisi balsam panas.
"Tahukah engkau apa guna balsam ini?" Monyet itu tetap mengangguk .
"Baiklah, bolehkah kugosokselangkangmu dengan balsam?" Monyet itu mengangguk.
Lalu Abu Nawas menggosok selangkang binatang itu. Tentu saja monyet itu merasa agak kepanasan dan mulai-panik.
Kemudian Abu Nawas mengeluarkan bungkusan yang cukup besar. Bungkusan itu juga berisi balsam.
"Maukah engkau bila balsam ini kuhabiskan untuk menggosok selangkangmu?" Abu Nawas mulai mengancam. Monyet itu mulai ketakutan. Dan rupanya ia lupa ancaman tuannya sehingga ia terpaksa menggeleng-gelengkan kepala sambil mundur beberapa langkah.
Abu Nawas dengan kecerdikan dan akalnya yang licin mampu memenangkan sayembara meruntuhkan kegigihan monyet yang dianggap cerdik.
Ah, jangankan seekor monyet, manusia paling pandai saja bisa dikecoh Abu Nawas!

Abu Nawas : Pekerjaan Yang Mustahil

Baginda baru saja membaca kitab tentang kehebatan Raja Sulaiman yang mampu memerintahkan, para jin memindahkan singgasana Ratu Bilqis di dekat istananya. Baginda tiba-tiba merasa tertarik. Hatinya mulai tergelitik untuk melakukan hal yang sama. Mendadak beliau ingin istananya dipindahkan ke atas gunung agar bisa lebih leluasa menikmati pemandangan di sekitar. Dan bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan karena ada Abu Nawas yang amat cerdik di negerinya.
Abu Nawas segera dipanggil untuk menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah Abu Nawas dihadapkan, Baginda bersabda,
"Sanggupkah engkau memindahkan istanaku ke atas gunung agar aku lebih leluasa melihat negeriku?" tanya Baginda.
Abu Nawas tidak langsung menjawab. la berpikir sejenak hingga keningnya berkerut. Tidak mungkin menolak perintah Baginda kecuali kalau memang ingin dihukum.
Akhirnya Abu Nawas terpaksa menyanggupi proyek raksasa itu. Ada satu lagi permintaan dari Baginda, pekerjaan itu harus selesai hanya dalam waktu sebulan.
Abu Nawas pulang dengan hati masgul. Setiap malam ia hanya berteman dengan rembulan dan bintang-bintang. Hari-hari dilewati dengan kegundahan. Tak ada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali hari-hari ini.Tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana.
Keesokan harinya Abu Nawas menuju istana. la menghadap Baginda untuk membahas pemindahan istana. Dengan senang hati Baginda akan mendengarkan, apa yang diinginkan Abu Nawas.
"Ampun Tuariku, hamba datang ke sini hanya untuk mengajukan usul untuk memperlancar pekerjaan hamba nanti." kata Abu Nawas.
"Apa usul itu?"
"Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada Hari Raya Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang dua puluh hari lagi."
"Kalau hanya usulmu, baiklah." kata Baginda.
"Satu lagi Baginda….. " Abu Nawas menambahkan.
"Apa lagi?" tanya Baginda.
"Hamba mohon Baginda menyembelih sepuluh ekor sapi yang gemuk untuk dibagikan langsung kepada para fakir miskin." kata Abu Nawas.
"Usulmu kuterima." kata Baginda menyetujui.Abu Nawas pulang dengan perasaan riang gembira. Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Toh nanti bila waktunya sudah tiba, ia pasti akan dengan mudah memindahkan istana Baginda Raja. Jangankan hanya memindahkan ke puncak gunung, ke dasar samudera pun Abu Nawas sanggup.
Desas-desus mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri. Hampir semua orang harap-harap cemas. Tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin atas kemampuan Abu Nawas. Karena selama ini Abu Nawas belum pernah gagal
melaksanakan tugas-tugas aneh yang dibebankan di atas pundaknya. Namun ada beberapa orang yang meragukan keberhasilan Abu Nawas kali ini.
Saat-saat yang dinanti-nantikan tiba. Rakyat berbondong-bondong menuju lapangan untuk melakukan salat Hari Raya Idul Qurban. Dan seusai salat, sepuluh sapi sumbangan Baginda Raja disembelih lalu dimasak kemudian segera dibagikan kepada fakir miskin.
Kini giliran Abu Nawas yang harus melaksanakan tugas berat itu. Abu Nawas berjalan menuju istana diikuti oleh rakyat. Sesampai di depan istana Abu Nawas bertanya kepada Baginda Raja,
"Ampun Tuanku yang mulia, apakah istana sudah tidak ada orangnya lagi?"
"Tidak ada." jawab Baginda Raja singkat.
Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana. la berdiri sambil memandangi istana. Abu Nawas berdiri mematung seolah-olah ada yang ditunggu. Benar. Baginda Raja akhirnya tidak sabar.
"Abu Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat istanaku?" tanya Baginda Raja.
"Hamba sudah siap sejak tadi Baginda." kata Abu Nawas.
"Apa maksudmu engkau sudah siap sejak tadi? Kalau engkau sudah siap. Lalu apa yang engkau tunggu?" tanya Baginda masih diliputi perasaan heran.
"Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh seluruh rakyat yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba. Setelah itu hamba tentu akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunung sesuai dengan titah Paduka."
Baginda Raja Harun Al Rasyid terpana. Beliau tidak menyangka Abu Nawas masih bisa keluar dari lubang jarum.

Abu Nawas : Botol Ajaib

Tidak ada henti-hentinya. Tidak ada kapok-kapoknya, Baginda selalu memanggil Abu Nawas untuk dijebak dengan berbagai pertanyaan atau tugas yang aneh-aneh. Hari ini Abu Nawas juga dipanggil ke istana.
Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut Abu Nawas dengan sebuah senyuman.
"Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku kena serangan angin." kata Baginda Raja memulai pembicaraan.
"Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil." tanya Abu Nawas.
"Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya." kata Baginda.
Abu Nawas hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. la tidak memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti tetapi ia masih bingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin.
Karena angin tidak bisa dilihat. Tidak ada benda yang lebih aneh dari angin. Tidak seperti halnya air walaupun tidak berwarna tetapi masih bisa dilihat. Sedangkan angin tidak.
Baginda hanya memberi Abu Nawas waktu tidak lebih dari tiga hari. Abu Nawas pulang membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja. Namun Abu Nawas tidak begitu sedih. Karena berpikir sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan. la yakin bahwa dengan berpikir akan terbentang jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Dan dengan berpikir pula ia yakin bisa menyumbangkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan terutama orang-orang miskin. Karena tidak jarang Abu Nawas menggondol sepundi penuh uang emas hadiah dari Baginda Raja atas kecerdikannya.
Tetapi sudah dua hari ini Abu Nawas belum juga mendapat akal untuk menangkap angin apalagi memenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari terakhir yang telah ditetapkan Baginda Raja. Abu Nawas hampir putus asa. Abu Nawas benar-benar tidak bisa tidur walau hanya sekejap.
Mungkin sudah takdir; kayaknya kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman karena gagal melaksanakan perintah Baginda. la berjalan gontai menuju istana. Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia ingat sesuatu, yaitu Aladin dan lampu wasiatnya.
"Bukankah jin itu tidak terlihat?" Abu Nawas bertanya kepada diri sendiri. la berjingkrak girang dan segera berlari pulang. Sesampai di rumah ia secepat mungkin menyiapkan segala sesuatunya kemudian menuju istana. Di pintu gerbang istana Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda sedang menunggu kehadirannya.
Dengan tidak sabar Baginda langsung bertanya kepada Abu Nawas.
"Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas?"
"Sudah Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri sambil mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Kemudian Abu Nawas menyerahkan botol itu.
Baginda menimang-nimang botol itu.
"Mana angin itu, hai Abu Nawas?" tanya Baginda.
"Di dalam, Tuanku yang mulia." jawab Abu Nawas penuh takzim.
"Aku tak melihat apa-apa." kata Baginda Raja.
"Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu." kata Abu Nawas menjelaskan. Setelah tutup botol dibuka Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitu menyengat hidung.
"Bau apa ini, hai Abu Nawas?!" tanya Baginda marah. "Ampun Tuanku yang mulia, tadi hamba buang angin dan hamba masukkan ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol." kata Abu Nawas ketakutan.
Tetapi Baginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal. Dan untuk kesekian kali Abu Nawas selamat.

Abu Nawas : Ibu Sejati

Kisah ini mirip dengan kejadian pada masa Nabi Sulaiman ketika masih muda.
Entah sudah berapa hari kasus seorang bayi yang diakui oleh dua orang ibu yang sama-sama ingin memiliki anak. Hakim rupanya mengalami kesulitan memutuskan dan menentukan perempuan yang mana sebenarnya yang menjadi ibu bayi itu.
Karena kasus berlarut-larut, maka terpaksa hakim menghadap Baginda Raja untuk minta bantuan. Baginda pun turun tangan. Baginda memakai taktik rayuan. Baginda berpendapat mungkin dengan cara-cara yang amat halus salah satu, wanita itu ada yang mau mengalah. Tetapi kebijaksanaan Baginda Raja
Harun Al Rasyid justru membuat kedua perempuan makin mati-matian saling mengaku bahwa bayi itu adalah anaknya. Baginda berputus asa.
Mengingat tak ada cara-cara lain lagi yang bisa diterapkan Baginda memanggil Abu Nawas. Abu Nawas hadir menggantikan hakim. Abu Nawas tidak mau menjatuhkan putusan pada hari itu melainkan menunda sampai hari berikutnya. Semua yang hadir yakin Abu Nawas pasti sedang mencari akal seperti yang biasa dilakukan. Padahal penundaan itu hanya disebabkan algojo tidak ada di tempat.
Keesokan hari sidang pengadilan diteruskan lagi. Abu Nawas memanggrl algojo dengan pedang di tangan. Abu Nawas memerintahkan agar bayi itu diletakkan di atas meja.
"Apa yang akan kau perbuat terhadap bayi itu?" kata kedua perempuan itu saling memandang. Kemudian Abu Nawas melanjutkan dialog.
"Sebelum saya mengambil tindakan apakah salah satu dari kalian bersedia mengalah dan menyerahkan bayi itu kepada yang memang berhak memilikinya?"
"Tidak, bayi itu adalah anakku." kata kedua perempuan itu serentak.
"Baiklah, kalau kalian memang sungguh-sungguh sama menginginkan bayi itu dan tidak ada yang mau mengalah maka saya terpaksa membelah bayi itu menjadi dua sama rata." kata Abu Nawas mengancam.
Perempuan pertama girang bukan kepalang, sedangkan perempuan kedua menjerit-jerit histeris.
"Jangan, tolongjangan dibelah bayi itu. Biarlah aku rela bayi itu seutuhnya diserahkan kepada perempuan itu." kata perempuan kedua. Abu Nawas tersenyum lega. Sekarang topeng mereka sudah terbuka. Abu Nawas segera mengambil bayi itu dan langsurig menyerahkan kepada perempuan kedua.
Abu Nawas minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan perbuatannya. Karena tak ada ibu yang tega menyaksikan anaknya disembelih. Apalagi di depan mata. Baginda Raja merasa puas terhadap keputusan Abu Nawas. Dan .sebagai rasa terima kasih, Baginda menawari Abu Nawas menjadi penasehat hakim kerajaan. Tetapi Abu Nawas menolak. la lebih senang menjadi rakyat biasa.

Abu Nawas : Hadiah Bagi Tebakan Jitu

Baginda Raja Harun Al Rasyid kelihatan murung. Semua menterinya tidak ada yang sanggup menemukan jawaban dari dua pertanyaan Baginda. Bahkan para
penasihat kerajaan pun merasa tidak mampu memberi penjelasan yang memuaskan Baginda. Padahal Baginda sendiri ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya.
Mungkin karena amat penasaran, para penasihat Baginda menyarankan agar Abu Nawas saja yang memecahkan dua teka-teki yang membingungkan itu. Tidak begitu lama Abu Nawas dihadapkan. Baginda mengatakan bahwa akhirakhir ini ia sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua rahasia alam.
"Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang manakah yang Paduka maksudkan?" tanya Abu Nawas ingin tahu.
"Aku memanggilmu untuk menemukan jawaban dari dua teka-teki yang selama ini menggoda pikiranku." kata Baginda.
"Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan hamba."
"Yang pertama, di manakah sebenarnya batas jagat raya ciptaan Tuhan kita?" tanya Baginda.
"Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas tanpa sedikit pun perasaan ragu, "Tuanku yang mulia," lanjut Abu Nawas ’ketidakterbatasan itu ada karena adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu manusia tidak akan pernah tahu di mana batas jagat raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak akan mampu mengukur sesuatu yang tidak terbatas."
Baginda mulai tersenyum karena merasa puas mendengar penjelasan Abu Nawas yang masuk akal. Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.
"Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya : bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?"
"Ikan-ikan di laut." jawab Abu Nawas dengan tangkas.
"Bagaimana kau bisa langsung memutuskan begitu. Apakah engkau pernah menghitung jumlah mereka?" tanya Baginda heran.
"Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak seolah-olah tidak pernah berkurang karena saking banyaknya. Sementara bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak." jawab Abu Nawas meyakinkan.
Seketika itu rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda sirna tak berbekas. Baginda Raja Harun Al Rasyid memberi hadiah Abu Nawas dan istrinya uang yang cukup banyak.
Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa bergerak.
Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang menyampaikan kuliah tentang alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung di situ, la bertanya kepada ulama itu.
"Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?" Ulama itu berpikir sejenak kemudian ia berkata,
"Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain. Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. la merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa. Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilirigi ular-ular. Maka jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?"
Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu, termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga karena barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka satu mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau pulang kembali ke istana.
Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas dipanggil: Setelah menghadap Bagiri
"Aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang katanya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?"
"Sanggup Paduka yang mulia." kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas yang mustahil dilaksanakan itu. "Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu sarat yang akan hamba ajukan."
"Sebutkan sarat itu." kata Baginda Raja.
"Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya."
"Pintu apa?" tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat." jawab Abu Nawas.
"Apa itu?" tanya Baginda ingin tahu.
"Kiamat, wahai Padukayang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian. Dan pintu alam akhirat adalah kiamat. Surga berada di alam akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat teriebih dahulu."
Mendengar penjetasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam.
Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya lagi,
"Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?" Baginda Raja tidak menjawab. Beliau diam seribu bahasa, Sejenak kemudian Abu Nawas mohon diri karena Abu Nawas sudah tahu jawabnya.

Abu Nawas : Pintu Akhirat

Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa bergerak.
Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang menyampaikan kuliah tentang alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung di situ, la bertanya kepada ulama itu.
"Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?" Ulama itu berpikir sejenak kemudian ia berkata,
"Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain. Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. la merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa. Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilirigi ular-ular. Maka jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?"
Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu, termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga karena barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka satu mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau pulang kembali ke istana.
Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas dipanggil: Setelah menghadap Bagiri
"Aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang katanya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?"
"Sanggup Paduka yang mulia." kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas yang mustahil dilaksanakan itu. "Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu sarat yang akan hamba ajukan."
"Sebutkan syarat itu." kata Baginda Raja.
"Hamba morion Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya."
"Pintu apa?" tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat." jawab Abu Nawas.
"Apa itu?" tanya Baginda ingin tahu.
"Kiamat, wahai Paduka yang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian. Dan pintu alam akhirat adalah kiamat. Surga berada di alam akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat teriebih dahulu."
Mendengar penjetasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam.
Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya lagi, "Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?" Baginda Raja tidak menjawab. Beliau diam seribu bahasa, Sejenak kemudian Abu Nawas mohon diri karena Abu Nawas sudah tahu jawabnya.

Abu Nawas : Tetap Bisa Cari Solusi

Mimpi buruk yang dialami Baginda Raja Harun Al Rasyid tadi malam menyebabkan Abu Nawas diusir dari negeri Baghdad. Abu Nawas tidak berdaya. Bagaimana pun ia harus segera menyingkir meninggalkan negeri Baghdad hanya karena mimpi. Masih jelas terngiang-ngiang kata-kata Baginda Raja di telinga Abu Nawas.
"Tadi malam aku bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki tua. Ia mengenakan jubah putih. la berkata bahwa negerinya akan ditimpa bencana bila orang yang bernama Abu Nawas masih tetap tinggal di negeri ini. la harus diusir dari negeri ini sebab orang itu membawa kesialan. ia boleh kembali ke negerinya dengan sarat tidak boleh dengan berjalan kaki, berlari, merangkak, melompat-lompat dan menunggang keledai atau binatang tunggangan yang lain." Dengan bekal yang diperkirakan cukup Abu Nawas mulai meninggalkan rumah dan istrinya. Istri Abu Nawas hanya bisa mengiringi kepergian suaminya dengan deraian air mata.

Kabar kepulangan Abu Nawas juga sampai ke telinga Baginda Harun Al Rasyid. Baginda juga merasa gembira mendengar berita itu tetapi dengan alasan yang sama sekali berbeda. Rakyat gembira melihat Abu Nawas pulang kembali, karena mereka mencintainya. Sedangkan Baginda Raja gembira mendengar Abu Nawas pulang kembali karena beliau merasa yakin kali ini pasti Abu Nawas tidak akan bisa mengelak dari hukuman.
Namun Baginda amat kecewa dan merasa terpukul melihat cara Abu Nawas pulang ke negerinya. Baginda sama sekali tidak pernah membayangkan kalau Abu Nawas ternyata bergelayut di bawah perut keledai. Sehingga Abu Nawas terlepas dari sangsi hukuman yang akan dijatuhkan karena memang tidak bisa dikatakan teiah melanggar larangan Baginda Raja. Karena Abu Nawas tidak mengendarai keledai.

FOTO

Wah punya temen pada narsis2 nih tapi dah lama gag ktemu sejak lulusan sma (ngumpul bareng maksudya) tapi jempret2nya cuma dikit ja yah hemat beb wkwkwkw

untuk lihat foto lebih banyak Klik

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More